Lambang Persahabatan. |
Namun demikian, semuanya menyadari bahwa tujuan Halal bi Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan.
Sejarah Awal Mula Halal bi Halal
sejarah dimulainya Halal bi Halal ada banyak versi. Menurut
sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula
digelar oleh KGPAA Mangkunegara I, yang masyhur dipanggil Pangeran Sambernyawa.
Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, fikiran, dan biaya, maka setelah salat
Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit
secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem
kepada raja dan permaisuri.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Tinjauan Istilah Halal bi Halal Secara Bahasa
Contoh Kartu Undangan Halal Bihalal. |
Kata majemuk ini tampaknya memang ‘made in Indonesia’.
Kata halal bihalal justru diserap Bahasa Indonesia dan
diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan,
Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab,istilah Halal bi
Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli made in Indonesia
dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya, namun
tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic. Dalam ilmu Bahasa
Arab sering dijumpai teori izhmâr (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya
ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan
pendekatan teori tersebut.
- Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari kehalalan dengan cara yang halal.
- Kedua, halâl "yujza'u" bi halâl; kehalalan dibalas dengan kehalalan, ini hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum qishâs "anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini; sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata" (QS. Al-Maidah: 45). Dalam redaksi ayat tersebut, mufasir biasanya memahaminya dengan teori izhmâr, menjadi: anna al-nafsa "tuqtalu" bi al-nafsi, wa al-'aina "tufqa'u" bi al-'aini. Hanya bedanya kalau Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif.
Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab
istilah Halal bi Halal
adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi
hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah
lawan dari haram. Jika
haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal
berarti
sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Dengan demikian,
Halal bi
Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya
haram dan
berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf. Namun tinjauan
hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan Halal bi Halal
itu sendiri yang merupakan untuk mengharmoniskan hubungan. Karena dalam
bagian
halal terdapat hukum makruh, tidak disenangi dan sebaiknya tidak
dikerjakan,
seperti menceraikan isteri yang justru lepas dari tujuan mengharmoniskan
hubungan.
Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk
beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan
masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang
beku”, dan “membebaskan sesuatu”. Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata
dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian,
ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya
untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut,
melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan
hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini
merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal.
Oleh sebab itu, maka makna filosofis Halal bi Halal berdasarkan teori izhmâr
tadi dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah: mencari
penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni
kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl)
adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan
cara saling memaafkan
Sisi Positif Halal bi Halal
Hidangan Saat Berkumpul |
- Paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi perhatian khusus untuk ber-silaturrahmi dan saling memafkan bagi semua pihak. Ketimbang jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin kesibukan akan meleburkan perhatian mereka akan pentingnya ber-silaturrahmi.
- Saling maaf-memaafkan pada saat Idul Fitri dan Halal bi Halal bukan berarti mengkhususkan maaf hanya pada momen itu saja. Terlebih dikatakan sebagai menambah-namabahi syariat (bid'ah). Yang terpenting adalah Muslimin meyakini bahwa saling memaafkan tidak memiliki batas waktu. Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan silaturrahmi hanya berlaku saat Idul Fitri atau Halal bi Halal saja, itulah yang salah secara syariat.
- Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya.
Beberapa pelanggaran syari'ah dalam halal bi halal
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal
bihalal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariah, di
antaranya:
- Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR.Bukhari nomor 6.169)
- Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut: عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ « اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ Dari Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Rasulullah saw. berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita: “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya”. HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani.
- Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal bi halal atau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadits berikut عن مَعْقِل بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ” Dari Ma’qil bin Yasar ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. HR. Ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh Al-Albani. Al-Albani berkata: “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama." Na'udzu billahi min dzalik.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ “Maha suci Engkau ya
Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
sumber : jadipintar.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas saran & kritiknya !!