Uang Pelicin, Sogok, Suap..... |
============================================================================
para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.
========================================================
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari Bahasa Latin,
corruptio yang berarti penyuapan. Atau dari kata orrumpere yang bermakna
merusak. Korupsi secara epistemologi adalah suatu perbuatan buruk atau tindakan
menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi
sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Pada mulanya istilah korupsi di Indonesia bersifat umum, dan kemudian menjadi
istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/ PM'061957
tentang korupsi.
Konsideransi peraturan tersebut menyebutkan "Menimbang, bahwa berhubung
dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha- usaha memberantas
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh
khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja
untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.”
Apabila diperhatikan dengan seksama, konsideransi peraturan tersebut memberi
batasan rumusan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi dan apa maknanya. Dari
konsiderans itu pula tersimpul beberapa unsur yang harus dipenuhi oleh suatu
perbuatan untuk dapat disebut sebagai perbuatan korupsi.
Unsur-Unsur Yang Dikategorikan Korupsi
- Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan diri sendiri atau keluarga atau golongan atau suatu badan, yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara.
- Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji dari keuangan negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya oleh karena jabatannya, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau materiil baginya.
Korupsi Menurut Perspektif Islam
Hukum Islam
disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara
kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan pensyariatan hukum
tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang tidak
menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas,
mencopet, dan sebagainya adalah
untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan
menggunakan sebagai taruhan judi dan memberikannya kepada orang lain
yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat maksiat, karena pemanfaatan
yang
tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan kemaslahatan yang dituju
dengan
tidak tercapai.
Ulama fikih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram dan
dilarang. Karena bertentangan dengan maqasid asy-syariah.
Keharaman Perbuatan Korupsi Dapat Ditinjau dari Berbagai Segi, Antara lain .
- Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada firman-Nya, وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ "Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran:161). Nabi Muhammad saw. telah menetapkan suatu peraturan bahwa setiap kembali dari peperangan, semua harta rampasan baik yang kecil maupun yang besar jumlahnya harus dilaporkan dan dikumpulkan di hadapan pimpinan perang kemudian Rasulullah saw. membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan itu untuk Allah SWT, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, sedangkan siasanya (4/5 lagi) diberikan kepada mereka yang berperang. (QS. Al-Anfal: 41).
- Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam Alquran, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27). Pada ayat lain Allah SWT memerintahkan untuk memelihara dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, ۞ إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡ "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil .” (QS. An-Nisa: 58). Kedua ayat ini mengandung pengertian bahwa mengkhianati amanat seperti perbuatan korupsi bagi pejabat adalah terlarang lagi haram.
- Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyakarat yang miskin dan buta huruf yang mereka peroleh dengan susah payah. Oleh karena itu, amatlah lalim seorang pejabat yang memperkaya dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehinga Allah SWT memasukkan mereka ke dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana dalam firman-Nya, فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡ عَذَابِ يَوۡمٍ أَلِيمٍ Kecelakaan besarlah bagi orang-orang lalim yakni siksaan di hari yang pedih." (QS. Az-Zukhruf: 65).
- Termasuk ke dalam kategori korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara kepada seseorang karena ia menerima suap dari yang menginginkan fasilitas tersebut. Perbuatan ini oleh Nabi Muhammad saw. disebut laknat seperti dalam sabdanya, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap.” (HR Ahmad bin Hanbal). Pada kesempatan lain Rasulullah saw.bersabda, "Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang diambilnya di luar gajinya itu adalah penipuan (haram).” (HR. Abu Dawud).
Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah
memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan,
mengeluarkannya untuk kepentingan ibadah, sosial. dan sebagainya.
Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi
tidak
berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara
ilegal
lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan
harta
rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara memperolehnya
sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama. Dalam
hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh
dengan
cara-cara yang ilegal (terlarang) adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu
bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara
yang terlarang.
Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain ialah firman Allah
SWT,
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٲلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُڪَّامِ لِتَأۡڪُلُواْ فَرِيقً۬ا مِّنۡ أَمۡوَٲلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu, dan korupsi.
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٲلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُڪَّامِ لِتَأۡڪُلُواْ فَرِيقً۬ا مِّنۡ أَمۡوَٲلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu, dan korupsi.
Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga
dianalogikan dengan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara riba, karena
kedua bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal.
Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran:
130), maka memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama
memakai kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi
yaitu, "apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram
memberikannya/memanfaatkannya”.
Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama
suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan
hasilnya.
Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh
dimanfaatkan. Selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu
pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
Jika ulama fikih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta
kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi, maka mereka berbeda pendapat
mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut.
Shalat dan Haji dari Uang Korupsi, Sahkah ?
- Mazhab Syafi'i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu/korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat mereka tentang haji dengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat amalan dimaksud.
- Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah shalat. Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan shalat memakai pakaian bernajis. Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah SWT. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. la memperkuat pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. At-Tabrani).
Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw. bersabda,
"Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta yang halal, maka
ketika ia mulai membacakan talbiah datang seruan dari langit, 'Allah akan
menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia. Perbekalanmu
halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak dicampuri dosa'.” “Sebaliknya bila pergi dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiah
maka datang seruan dari langit, 'Tidak diterima kunjunganmu dan kamu tidak
berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka hajimu berdosa,
jauh dari pahala (tidak diterima)’.” (HR. At-Tabrani).
Atas dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil
kesimpulan tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil
korupsi.
Hukuman bagi Koruptor
- Ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir (jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syarak kepada hakim. Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
- Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Hotel Twin Plasa, Jakarta, Sabtu (14/9). Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial.”MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI Amidhan saat membacakan rekomendasi. Menurut Amidhan, begitu besar desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif di negeri ini.”Masyarakat menilai selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata dia. Amidhan juga mengatakan, MUI mendorong agar majelis hakim konsisten menetapkan putusan untuk menyita seluruh harta hasil korupsi.
- Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga nahdliyyin di tingkat ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.
- Rekomendasi itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, hingga kini belum ada realisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan penerapan hukuman itu. ”Hukuman mati dimungkinkan dalam Pasal 2 UU Tipikor,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi, Minggu (15/9).
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ “Maha suci Engkau ya
Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
sumber : jadipintar.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas saran & kritiknya !!