Terikat Perjodohan. |
Mengenai kawin paksa (ijbar), sebenar-nya sudah menjadi
polemik klasik dalam khazanah Islam. Para ahli fiqh berbeda menyikapinya. Sebut
saja, Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq dan Abi Laila, mereka menetapkan hak ijbar (memaksa) berdasarkan sebuah hadits. Nabi Muhammad saw. bersabada:
“Janda, tidak boleh dinikahi sampai diminta persetujuannya.
Anak perawan tidak boleh dinikahi sampai diminta izinnya. Mereka bertanya;
“bagaimana izinnya? Jawab Rasul; anak gadis itu diam” (HR. Bukhari-Muslim).
Kelompok ini memandang yang harus dimintai izin adalah
janda, bukan gadis. Karena hadits ini membedakan antara janda dan gadis.
Berdasarkan sebuah hadits riwayat Muslim bahwa janda lebih berhak terhadap
dirinya sendiri ketimbang walinya (ahaqqu binafsiha min waliyyiha). Dengan
demikian, ia harus dimintai persetujuan. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari
Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut, Dar al-Fikr, tt., juz 9, hlm. 191). Wallahu a'lam.
Wali Wajib Minta Ijin Wanita (Calon Isteri).
Dalam urusan
pernikahan atau perjodohan, wajiblah bagi wali terlebih dahulu menanyai
pendapat calon isteri dan mengetahui kerelaannnya sebelum
diaqadnikahkan. Sebab perkawinan merupakan pergaulan abadi dan
persekutuan suami-isteri, kelanggengan, keserasian, kekalnya cinta dan
persahabatan tidaklah akan terwujud apabila keridhaan pihak calon isteri
sebelumnya belum diketahui. Oleh sebab itu Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan
pria yang tidak disenanginya. Aqad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah
sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh
walinya dengan paksa tersebut. Adapun alasannya adalah sbb.:
- Hadits, dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Janda lebih berhak kepada dirinya sendiri daripada walinya. Dan gadis hendaknya diminta izinnya dalam perkawinan dirinya. Dan izinnya adalah diamnya." (H.R. Jama'ah kecuali Bukhari). Dalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasa'i dikatakan: "Dan gadis hendaknya ayahnya meminta izin kepadanya." (maksudnya sebelum dilangsungkan aqad nikah ia ditanya lebih dahulu tentang persetujuannya).
- Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Janda tak boleh dinikahkan sebelum diajak berunding, dan gadis sebelum dimintai persetujuannya, Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah; Bagaimana izinnya?" Jawabnya: "Diamnya."
- Dari Khansa binti Khidam bahwa ia dikawinkan oleh ayahnya setelah ia janda, Maka ia datang kepada Rasulullah mengadukan perkaranya. Maka beliau membatalkan perkawinannya itu." (H.R.Jama'ah kecuali Muslim).
- Dari Ibnu Abbas bahwa seorang gadis datang kepada Rasulullah saw. lalu ia menceritakan kepada beliau tentang ayahnya yang mengawinkannya dengan laki-laki yang ia tidak sukai. Maka Rasulullah menyuruh dia untuk memilih (menerima atau menolak). (H.R.Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruquthni).
- Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata: Seorang gadis datang kepada Rasulullah saw. lalu katanya: "Sesungguhnya ayahku mengawinkan aku dengan anak saudaranya, agar dengan begitu terangkat martabatnya." Kata Abdullah: "Lalu Rasulullah saw. menyerahkan urusannya kepadanya,"Dan katanya: "Saya mengizinkan tindakan ayahku kepadaku. Tetapi yang aku hendaki yaitu memberitahu kepada kaum wanita bahwa bapak-bapak itu tidak mempunyai apa-apa dalam urusan ini (perkawinan)." (H.R. Ibnu Majah, dengan perawi-perawinya yang shahih).
Perkawinan Gadis di Bawah Umur.
Memaksa Anak Masih Kecil |
Batasan
umur seorang anak dikatakan dewasa, berbeda-beda. Menurut Hukum Islam,
Seorang anak dikatakan telah baligh adalah ketika telah "bermimpi basah" untuk anak laki-laki, dan telah menstruasi untuk anak perempuan. Menurut hukum KUHP Indonesia, batas usia
dibawah umur/belum dewasa adalah belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah
kawin, hal ini berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Dikatakan anak di bawah umur, berarti usianya belum mencapai batas yang
disyaratkan di atas, tergantung mau dipandang dari sudut hukum yang
mana.
Tentang perkawinan gadis di bawah umur, Syafi'i
menganjurkan agar ayah dan datuk (kakek) tidak mengawinkan wanita yang
masih anak-anak sehingga ia cukup dewasa dan dengan izinnya. Agar si
anak nantinya tidak terjatuh pada pria yang tidak disukai.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa wali selain ayah dan datuk tidak boleh mengawinkan wanita-wanita yang masih anak-anak. Dan jika ini terjadi, maka hukumnya tidak sah. Tetapi Abu Hanifah, Auza'i dan segolongan ulama salaf membolehkan dan perkawinannya sah, akan tetapi si perempuan setelah baligh berhak khiyar (hak memilih), inilah pendapat yang kuat . Karena ada riwayat dari Nabi saw., bahwa beliau mengawinkan Umamah binti Hamzah yang masih kecil dan kemudian setelah dewasa beliau memberikan hak khiyar
kepadanya. Di sini Nabi bertindak sebagai kerabatnya yang terdekat dan
walinya, jadi bukan dalam kedudukannya sebagai Nabi. Sebab kalu Nabi
saw. bertindak dalam kapasitasnya sebagai Nabi, sudah barang tentu Umamah tidak punya hak khiyar, kendatipun ia telah dewasa karena Allah telah berfirma: وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ
وَرَسُولُهُ ۥۤ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak
[pula] bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan
mereka. ..(Q.S. Al-Ahzab: 36).
Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian besar sahabat, diantaranya: Umar, Ali, Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Umar dan Abu Hurairah.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ “Maha suci Engkau ya
Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
sumber : jadipintar.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas saran & kritiknya !!