Tidak usah
jauh-jauh berbicara lawan jenis yang tidak ada hubungan kekerabatan,
kita ambil yang punya hubungan keluarga dan kekerabatan saja sebagai
patokan, karena di sana sering ditempeli banyak alasan ini dan itu.
Misalnya dengan anak paman atau anak bibi, istri saudara ayah atau istri saudara
ibu, saudara wanita dari istri, atau wanita-wanita lainnya
yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan .
Sementara banyak para muballigh yang mengharamkan bersalaman dengan lawan
jenis, namun apakah memang ada nash Al-qur'an atau as-Sunnah yang mengharamkan
hal tersebut?
Apalagi dalam hal kekeluargaan tentu sudah banyak motivasi yang melatarinya,
disamping
ada rasa saling percaya, aman dari fitnah, dan jauh dari
rangsangan syahwat.
Bukan Muhrim: Jangan sentuh. |
Sedangkan bagi orang yang bersikap tidak mau berjabat tangan, maka mereka ini
dipandang orang-orang kolot dan fundamentalis. Hal itu juga dianggap akan
merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepada para wanita, dan
sebagainya.
Menurut Syekh Yusuf Al-Qardhawi, masalah hukum berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan
merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menfatwakan hukumnya
tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Haruslah sang
mufti (orang yang berfatwa) memiliki kesungguhan dan pemikiran yang optimal
serta ilmiah.
Hal ini agar seorang mufti bebas dari tekanan
pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa
lalu. Apabila tidak didapati acuannya dalam Al-qur'an dan As-Sunnah
sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh
pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut
pandangan seorang faqih.
Sebelum memasuki pembahasan ini, Qardhawi
memberikan dua buah gambaran dari lapangan
perbedaan pendapat ini.
Pandangan Fukaha (Para Ahli Fikih)
- Diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satu pihak. Baik pihak laki-laki atau wanita. Atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya—yang pada asalnya mubah itu—bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.
- Kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa dia pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. Hal ini sudah ditunjukkan Al-quran dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain.
Allah swt. berfirman
:وَٱلۡقَوَٲعِدُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ ٱلَّـٰتِى لَا يَرۡجُونَ نِكَاحً۬ا
فَلَيۡسَ عَلَيۡهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعۡنَ ثِيَابَهُنَّ غَيۡرَ مُتَبَرِّجَـٰتِۭ
بِزِينَةٍ۬ۖ وَأَن يَسۡتَعۡفِفۡنَ خَيۡرٌ۬ لَّهُنَّۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ۬ "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti [dari haidh
dan mengandung] yang tiada ingin kawin [lagi], tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian [2] mereka dengan tidak [bermaksud] menampakkan perhiasan,
dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Q.s. An-Nur: 60) Dikecualikan pula laki-laki
yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak
kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan
terhadap wanita-wanita mukminah dalam
hal menampakkan perhiasannya.
. وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ
يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِہِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ
ءَابَآٮِٕهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآٮِٕهِنَّ أَوۡ
أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٲنِهِنَّ أَوۡ بَنِىٓ إِخۡوَٲنِهِنَّ أَوۡ
بَنِىٓ أَخَوَٲتِهِنَّ أَوۡ نِسَآٮِٕهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُهُنَّ
أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِى ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ
ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٲتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ
بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى
ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan [terhadap wanita] atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur: 31).
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw tidak berjabat tangan dengan kaum wanita
pada waktu baiat itu belum disepakati, karena
menurut riwayat Ummu Athiyah Al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat, berbeda dengan riwayat
dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah
menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat,
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُؤۡمِنَـٰتُ
يُبَايِعۡنَكَ عَلَىٰٓ أَن لَّا يُشۡرِكۡنَ بِٱللَّهِ شَيۡـًٔ۬ا وَلَا يَسۡرِقۡنَ
وَلَا يَزۡنِينَ وَلَا يَقۡتُلۡنَ أَوۡلَـٰدَهُنَّ وَلَا يَأۡتِينَ بِبُهۡتَـٰنٍ۬
يَفۡتَرِينَهُ ۥ بَيۡنَ أَيۡدِيہِنَّ وَأَرۡجُلِهِنَّ وَلَا يَعۡصِينَكَ فِى
مَعۡرُوفٍ۬ۙ فَبَايِعۡهُنَّ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُنَّ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ
غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan
sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan
membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka [1] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,
maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Mumtahanah: 12).
Dan Aisyah r.a. berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu
yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw.mengatakan
kepadanya, "Aku telah membaiatmu—dengan perkataan saja—dan demi
Allah, tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam
baiat itu. Beliau tidak membaiat mereka melainkan dengan mengucapkan,
'Aku telah membaiatmu tentang hal itu’.”
Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam “Fathul Bari” sebagai
berikut:
“Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan
berita, dan dengan perkataannya itu
seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita
yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah.”
“Menurut riwayat Ibnu Hibban, Ummu Athiyah mengatakan, "Lalu
Rasulullah saw.mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan
kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, 'Ya Allah,
saksikanlah’."
Demikian pula hadis sesudahnya—yakni sesudah hadits yang tersebut dalam
Al-Bukhari—dimana Aisyah mengatakan, "Seorang wanita menahan
tangannya." Ini memberi kesan seolah-olah mereka melakukan
baiat dengan tangan mereka.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata, "Untuk yang pertama itu dapat diberi
jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab
mengisyaratkan telah terjadinya baiat meskipun tidak sampai berjabat tangan.
Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud
dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya
sebelum bersentuhan. Atau baiat itu terjadi
dengan menggunakan lapis tangan.”
Abu Daud meriwayatkan dalam “Al-Marasil” dari Asy- Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika
membaiat kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris
dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya
bersabda,"Aku tidak berjabat dengan wanita." Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan
bahwa Nabi saw. memasukkan tangannya
ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama
beliau.
Menurut Ibnu Hajar, boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa baiat itu
terjadi lebih dari satu kali. Diantaranya ialah baiat yang terjadi dimana
beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis
maupun tidak, beliau membaiat hanya dengan perkataan saja. Dan inilah
yang diriwayatkan oleh Aisyah. “Dan pada kesempatan yang lain beliau
tidak berjabat tangan dengan wanita
dengan menggunakan lapis, dan
inilah yang diriwayatkan oleh Asy-Sya'bi," kata Ibnu Hajar.
Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu
Ishaq, yaitu memasukkan tangan ke dalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk
seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu
berjabat tangan secara langsung.llah Mahamendengar lagi Mahamengetahui."
(QS. An-Nur: 60).
Kesimpulan Qardhawi
- Bahwa berjabat tangan antara
laki-laki dan perempuan itu hanya
Jangan Bersentuhan kulit. - Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka. Dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw.Tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain yang bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat.
Jangan Memulai Mengajak... |
Demikianlah yang ditetapkan oleh Qardhawi dalam fatwanya. Keputusannya ini
untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa
merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang
yang telah mengetahui tidak
usah mengingkarinya selama masih
ada kemungkinan untuk berijtihad. Wallahu a’lam.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
sumber : jadipintar.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas saran & kritiknya !!