Wali Hakim. Pengganti Wali Qarib. |
Wali dalam perkawinan adalah seseorang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wali diartikan
sebagai pengasuh pengantin perempuan ketika nikah, yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki.
Para ulama sependapat bahwa wali tidak berhak merintangi perempuan yang diwalikannya,
dan berarti berbuat dzalim kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan
pernikahan tersebut, jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang
sepadan dan mahar mitsl (1). Jika wali menghalangi pernikahan tersebut, maka calon pengantin wanita berhak mengadukan perkaranya melalui pengadilan agar perkawinan tersebut dapat dilangsungkan. Dalam
keadaan seperti ini, perwalian tidak pindah dari wali yang dzalim ke
wali lainnya, tetapi langsung ditangani oleh hakim sendiri. Sebab
mengahalangi hal tersebut adalah sesuatu perbuatan yang dzalim,
sedangkan untuk mengadukan wali dzalim itu hanya kepada hakim.
Adapun jika wali menghalangi karena alasan-alasan yang sehat, seperti laki-lakinya tidak sepadan, atau maharnya kurang dari mahar mitsl, atau ada peminang lain yang lebih sesuai dengan derajatnya, maka dalam keadaaan seperti ini perwalian tidak pindah ke tangan orang lain, karena ia tidaklah dianggap menghalangi.
Asbabun Nuzul (Sebab-Sebab Turunnya Ayat)
Dari Ma'qil bin Yasar,
ia berkata: Saya mempunyai saudara perempuan ang datang meminang saya
kemudian datang pula kepada saya salah seorang anak laki-laki paman
saya. Kemudian saya kawinkanlah saudara perempuan tersebut dengannya.
Tetapi belakangan ia cerai dengan talak raj'i(2)
kemudian ia diamkan hingga selesai masa iddahnya. Maka tatkala datang
perempuan itu untuk meminang saya, datang pula laki-laki tadi
meminangnya kembali lalu saya jawab: "Tidak, Demi Allah, saya tidak akan kawinkan dia dengan kamu selama-lamanya." Lalu Ma'qil berkata: Dalam kejadian ini turunlah ayat:
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٲجَهُنَّ إِذَا تَرَٲضَوۡاْ بَيۡنَہُم
بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ذَٲلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمۡ يُؤۡمِنُ
بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِۗ ذَٲلِكُمۡ أَزۡكَىٰ لَكُمۡ وَأَطۡهَرُۗ
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Apabila kamu menalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya,
maka janganlah kamu [para wali] menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya , apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(Q.S.Al-Baqarah: 232)
Kata Ma'qil: Kemudian saya membayar kafarat atas sumpah saya, lalu saya kawinkan dia kepadanya.
Perkawinan Perempuan Yatim
- Perempuan yatim boleh dikawinkan sebelum baligh, dan wali-walinya yang melakukan aqad atas namanya tetapi ia berhak khiyar (memilih apakah menerima atau menolak) setelah dewasa nanti. Demikianlah pendapat 'Aisyah r.a., Ahmad dan Abu Hanifah.
- Dalam kitab Sunan yang empat, Nabi saw. bersabda: "Perempuan yatim hendaknya dimintai persetujuan tentang dirinya. JIka ia diam tanda setujuna, dan jika ia menolak janganlah diteruskan..."
- Syafi'i berkata: Tidak sah mengawinkan perempuan yatim kecuali sesudah dewasa. Karena Rasulullah saw. bersabda: " Perempuan yatim hendaklah dimintai persetujuan." sedangkan persetujuan itu perlu dirundingkan. Hal ini akan terjadi kecuali kalau sudah dewasa. Sedangkan berunding dengan anak kecil tidaklah ada gunanya.
Wali Hakim
Wewenang perwalian berpindah ke hakim, apabila:
- Ada pertentangan antar wali-wali.
- Jika tidak ada wali; dalam artian tidak ada yang absolut (mati, hilang) atau karena gila. bila datang laki-laki yang sepadan dan melamar kepada perempuan yang sudah baligh dan ia menerimanya tetapi tak seorangpun dari walinya yang hadir waktu itu, misalnya karena gaib sekalipun tempatnya dekat, tapi di luar alamat pihak perempuan. Maka siapakah yang akan menikahkannya ? Dalam keadaan seperti ini hakim berhak men-aqadkannya, kecuali kalau perempuan dan laki-laki yang mau kawin tersebut bersedia menanti kedatangan walinya yang gaib itu. Keputusan menanti adalah hak perempuan, sekalipun waktunya masih lama. Jika perempuan dan laki-lakinya tak mau menanti, tak ada alasan untuk mengharuskan mereka menanti. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Tiga perkara tidak boleh ditunda-tunda yaitu: shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah siap, dan perempuan bila ia telah ditemukan pasangannya yang sepadan." (H.R. Baihaqi dan lain-lain, dari Ali). Disebutkan keterangan bahwa hadits ini sanadnya lemah, wallaju a'lam.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ “Maha suci Engkau ya
Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber: Fikih Sunnah 6, Sayyid Saabiq, telah diedit untuk keselarasan.
(1).Menurut Syaikh Husain Hafidzullah: "Mahar Mitsl adalah
mahar yg berhak didapatkan oleh seorang wanita sebesar mahar wanita lain yang
sederajat dengan nya dari segi 1) umurnya, 2) kecantikan, 3) kekayaan, 4)
kepandaian, 5) agama, 6) status yakni janda atau perawan, 7) dan negeri tempat
tinggal."
(2).Talak yang dapat dirujuk kembali selama dalam masa iddah.
sumber : jadipintar.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas saran & kritiknya !!